13 Februari, 2015

Memanen tanaman pandan yang wangi

Memanen tanaman pandan yang wangi
Hari rabu kemarin, umi dan abi-ku mengajak aku dan adikku untuk memanen tanaman hijau yang tumbuh rimbun di halaman rumah kami. Kata umi-ku, tanaman ini harus segera dipanen karena sudah menyita banyak ruang, sehingga kalau umi mau berjalan ke pohon mangga dan tanaman lain, umi selalu kesulitan melewatinya.
Hari itu abi membabat separuh tanaman rimbun itu dengan menggunakan golok. Abi bilang kalau merusak itu mudah, tapi menumbuhkannya kembali pasti lama, aku tidak mengerti apa maksudnya, tapi aku melihat umi mengangguk-anggukan kepalanya sambil menjawab "iya sih, tapi kan Pandan ini udah terlalu rimbun, suka dijadikan tempat singgah tikus-tikus got yang suka masuk ke dapur belakang rumah". Aku dan Runi adikku, melihat mereka panen tanaman yang umi sebut pandan. Daun hijau yang panjang itu suka digunakan umi untuk memasak nasi dan bubur kacang hijau, katanya sih agar harum. Aneh juga sih, emangnya itu daun minyak wangi? kenapa juga makanan harus pake minyak wangi.
Aku dan Runi bermain tali rafia sambil berlari-lari dijalan depan rumah yang sudah sepi, karena kakak-kakak yang lewat mau sekolah sudah tidak ada. Bermain bersama Adikku ternyata seru juga, walaupun kadang aku kesal karena adikku suka menangis dan berebut mainan dengan aku. Saat sedang seru bermain tali rafia, tiba-tiba umi meminta tali itu, katanya untuk mengikat daun pandan yang sudah terkumpul banyak sekali. Aku marah, karena aku ingin tali juga, lalu umi membelah tali itu menjadi 3 bagian. 1 untuk umi, satu untuk aku, dan satu lagi untuk Runi. Hebat banget ya umiku, bisa membelah satu tali jadi banyak, tapi talinya jadi terlihat lebih tipis.
Umi dan abi mengikat semua pandan itu menjadi 5 ikatan besar, sepertinya berat sekali. Katanya pandan itu akan dijual ke pasar oleh umi, sedangkan kami menunggunya di rumah. Sepulangnya dari pasar, hari sudah semakin cerah, secerah wajah umi yang tampak bahagia. Umi bercerita kalau ternyata Umi mendapat uang 40.000 dari hasil penjualan daun pandan yang dipanen, padahal awalnya umi dan abi mengira hanya akan mendapat 10.000. Wah, ternyata pandan juga ada peminatnya, aku jadi teringat pada Mbah-ku yang dulu pernnah mengambil banyak pandan lalu mencoba menjualnya dipasar. Kata Mbah, kita tidak perlu malu untuk berjualan, karena kita tidak merugikan orang lain. Mungkin itu alasan yang membuat umi akhirnya mau pergi ke pasar sambil membawa banyak daun pandan di motor, padahal disini banyak tetangga yang melihat. Aku juga kelak mau ikut jadi pedagang ah, karena kata umiku, Rasulullah Muhammad juga adalah seorang pedagang.
(Tulisan ini dibuat pagi hari selama 10 menit, setelah merasa bahwa saya lebih mudah bercerita untuk anak dibandingkan menulis laporan serius yang membutuhkan waktu lama. Klik disini jika ingin membaca kisah panen pandan versi dewasa)

Panen pandan wangi depan rumahku

Panen pandan
Ceritanya, dihalaman rumah kami ini, tumbuh tanaman pandan wangi. Setahun lalu, tanaman ini tampak biasa saja, namun makin lama makin tumbuh subur, padahal sudah beberapa kali diminta orang bahkan dicabut beserta akarnya. Kami tahu, keberadaan tanaman super rimbun ini sudah dijadikan rumah singgah bagi tikus got, karena beberapa kali saya melihat tikus-tikus itu mondar mandir di sekitar sini. Hari ini, tiba-tiba suami bersedia membabat tanaman pandan demi keamanan bersama. Saya kegirangan karena sudah terbayang, halaman saya akan kembali lega dan tidak lagi menakutkan, selain itu, kegiatan ini bisa menjadi proses pembelajaran ala home schooling untuk anak-anakku yang lebih senang bermain bersama orangtuanya. Babat..babat..babat.. pandanpun dibabat hingga keakarnya, tak lama kemudian, separuhnya sudah teronggok menanti dibereskan. Saya bingung, mau diapakan pandan sebanyak ini, dibagikan secara gratispun belum tentu habis semua. Dibuang sayang dan mubazir. Dijual !! itulah pilihan terbaik, sebenarnya saya agak-agak malu bin gengsi jika harus mengangkut pandan sebanyak ini dengan motor yang dikendarai seorang wanita, terlebih lagi jika harus melewati deretan rumah tetangga di komplek perumahan ini. Hati saya deg-deg plas, suami tak bergeming karena sejak awal ia tak setuju jika harus menjual-jual daun yang belum tentu laku, ia khawatir hasil tak berbanding dengan energi yang dikeluarkan. Demi membuktikan bahwa pandan ini bisa dijual, juga demi menghindari kemubaziran, akhirnya saya memberanikan diri berangkat ke pasar gedebage.
Panen Pandan Wangi

Ternyata oh ternyata, mental berdagang saya masih lebih kuat dibandingkan rasa malu, hehe
Sesampainya dipasar, saya celingak- celinguk mencari penjual rampe. Motor saya parkirkan dulu, agar saya bisa mencari dengan seksama. semakin jauh berjalan, semakin tak menemukan tanda-tanda penjual daun pandan. Saya hampir yakin dengan obrolan saya dan suami, bahwa pandan ini akan sulit menemukan pembeli, kalaupun ada pastilah terjual 10.ooo saja. Saya terus mencari jodoh bagi si pandan, bukan ingin uangnya, namun ingin onggokan pandan ini tidak mubazir, itu saja. Setelah terasa lelah mencari, saya bertanya pada salah satu pedagang di pasar "pa, yang suka jual daun pandan dimana ya?". "itu disana, depan tukang ikan" katanya sambil menunjuk kedepan. "Nuhun pa" saya lalu menghampiri seorang nenek yang sedang tersenyum. "jual pandan bu?" "oh, seep!" (oh, habis) jawab seorang pria yang tampak seperti bos bagi si nenek. "oh, kalau gitu saya mau jual pandan" senyumku mulai lebar. "iya, sok atuh bawa kesini" (iya, silahkan bawa kesini dong) katanya. Saya berjalan dengan hati riang, menuju tempat parkir motor yang jauh, dan segera kembali. Kehadiran sosok wanita dengan motor dan 5 ikat besar daun pandan, membuat banyak orang ingin menyapa dan berkenalan. ah, biarlah saya abaikan dengan melempar senyum saja, karena beginilah nasib ibu-ibu bertubuh "kurang tinggi" pasti dianggap masih belia. Saya beserta si Bos meletakkan seluruh pandan keatas timbangan beras. "10kg ya, itu!" kata si bos sambil menunjuk timbangan. "oh iya, jadi berapa?" hatiku mulai berprasangka ini itu, menanti sang Bos. "ah paling juga 10 ribu" pikirku dalam hati. "3000/kg, kalo 10kg jadi 30.000" jawab si bos sambil membuka gepokan uang. "Masa sih segitu A? nggak lebih?" kataku pelan, karena ini sudah 3x lipat lebih baik dari dugaan sebelumnya. "Ya, 35.000 deh" katanya memandangi uang-uang yang terlipat. "40 ribu lah di pasin" kataku penuh harap, maklum lah ibu-ibu kalau belum nawar rasanya belum puas, walaupun sudah untung banyak. "iya deh 40 ribu, nih ya teh, kalau ada barang lagi kesiniin ya! masih banyak nggak?" katanya dengan santai. "iya siap, nanti kalau sudah ada, saya kesini lagi" jawab saya sambil menerima uangnya. Sayapun berpamitan kepada semua yang ada disana yang telah menyambut baik saya. Betul-betul diluar dugaan, ternyata pandan ini merupakan daun yang dinantikan karena ternyata jarang yang memasok. Hatiku riang tak terkira, karena merasa telah menjadi suplayer pandan ke pasar, dan merasa ada peluang baik yang bisa dilakukan, hehe taring dagangnya tiba-tiba muncul.

Sesampainya dirumah, saya bercerita pada suami, ia-pun tidak menyangka bisa mendapat lebih dari 10 ribu. Entah kenapa, tiba-tiba saya kepikiran untuk cek harga jual sayuran di internet. "Bi, coba survey di internet, kali aja ada harga jual pandan di pasar-pasar, soalnya ternyata pandan dibutuhkan pedagang dipasar" kataku pd suami. Suamipun sependapat dan langsung berselancar dengan androidnya. Daaaannn.. jeng..jeng.. "7000/kg mi!" what?? Gubrags... pantesan si bos santai banget bayar 40 ribu untuk 10 kg, hehehe.. makanya, jangan menganggap remeh sesuatu, dan jangan lupa survey alias cari informasi dulu sebelum bertindak. Hehe.. Alhamdulillah, Rizki hari berupa pelajaran, pengalaman, harapan, dan uang. Semoga kita termasuk kedalam orang-orang yang pandai bersyukur.
(Saya merasa, ketika menulis kisah ini kurang mengalir, entah karena ngantuk atau mentok, prosesnya begitu lama -+ 3 jam. karena kurang puas, keesokan paginya saya menulis versi cerita anak, yang ternyata dapat saya kerjakan dalam 10 menit. Klik disini jika ingin membacakan cerita pada anak)

12 Februari, 2015

Apakah saya Ibu Profesional?

"Udah lama nggak main sama umi" kata Aa cenna kepada uminya yg baruu.. saja selesai makan siang disore hari. "Udah lama nggak main sama umi dari hongkong?.. tadi kan sebelum kalian makan, kita main gugulitikan di kasur" jawab umi nggak mau kalah dengan bercanda gaya orang marah. Gimana nggak mau pura-pura marah? Rasanya baruu.. saja badan ini istirahat dengan "me time" berupa sholat ashar, ngaji lalu makan yg di "jamak qoshor", tiba-tiba ditagih untuk tugas selanjutnya (main lagi). Tagihan itu terjadi berulang-ulang diwaktu-waktu yang tak dapat ditentukan. Belum sempat otak membuat rencana pribadi (seperti; melajutkan tugas menjahit, mengerjakan pr bahasa arab, menghayati pelajaran online yg sedang diikuti, ngeblog,  baca-baca, blog teman, nonton berita, atau sekedar menulis dan mengerjakan kerajinan tangan tanpa beban), manusia2 kecil itu sudah menunggu saya untuk menjadi temannya. Seringkali saya lelah dan jenuh, namun mungkin inilah salah satu kriteria "ibu profesional", siap sedia menjadi apa saja yang diinginkan dan dibutuhkan oleh anak-anaknya. Jabatan saya kini memanglah seorang ibu, namun ternyata, profesional dibidang ini rasanya sulit sekali melelahkan cukup menantang. berkali2 perilaku saya jauh dari kata profesional. Entah itu munculnya ketidak profesionalan berupa kemarahan, kemalasan, kesibukan hal lain, dan sejuta alasan lainnya. Huft.. sepertinya perlu ilmu untuk mencapainya.
Beberapa hari kemarin, Aa cenna ceria sekali disekolah, namun syaratnya 1: umi harus melihat semua kegiatan yg dilakukannya. Kalau umi meleng dikit, entah itu  menunduk melihat hp atau berpaling mengobrol dg ibu2 lain,  suaranya langsung nyaring memanggil "umiiii liatin Aa..". Heran juga saya dibuatnya, pasalnya di semester 1 kemarin, dia begitu mandiri tanpa ditunggui, apalagi harus ditatap macam ini. Hari ini, sayapun mengantarnya sekolah, namun saat menungguinya, saya meminta izin dia untuk boleh mengerjakan PR belajar online, sehingga tidak dapat memandanginya saat ia belajar. Singkat kata, Alhamdulillah ia sepakat dan hingga waktunya bubar sekolah ia tetap ceria, uminya pun beres mengerjakan tugas.
Setelah pagi-pagi berkutat dengan ibadah wajib, memasak, mencuci, mengantar anak sekolah, mengerjakan tugas belajar bahasa arab online, memanjat obrolan di grup WA dan BBM, berjualan online, bermain dengan anak-anak, hingga malam memanjat gunung strikaan, rasanya tak sanggup lagi untuk duduk diam didepan komputer, karena kebutuhan berbaring dan memejamkan mata lebih menarik hati.
Begitulah sekelumit alasan kisah dan rutinitas saya sehari-hari, yang dengan sebab itu pulalah, hampir sebulan saya tidak posting tulisan di blog tercinta ini. Kini, rasanya saya mulai bisa membuat ritme kegiatan, hingga akhirnya jari-jari ini kembali menyapa keyboard laptop yang hampir lumutan (lebay dikit)
Oiya, beberapa hari kebelakang, saya menemukan dimasukkan sebuah grup WA IIP -Bandung (Institut Ibu profesional) oleh seorang teman. Dan disinilah salah satu tempat saya belajar untuk menjadi Ibu profesional seperti yang sudah saya bicarakan diatas. Berhubung grup ini baru saya ikuti, jadi saya belum bisa bercerita banyak sekarang. So, tunggu postingan saya tentang "IIP" di bulan-bulan berikutnya ya..